Beberapa waktu lalu Omnibus Law atau yang dikenal juga dengan undang-undang (UU) 'sapu jagat' menjadi perbincangan hangat dikalangan akademisi, praktisi, sampai kalangan buruh. Bahkan pada hari Senin (20/1/2020), ratusan buruh berdemo di depan gedung DPR RI demi penolakan adanya Omnibus Law.[1] Omnibus Law adalah aturan yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang. Manfaatnya, Omnibus Law menyelesaikan masalah tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Terdapat 79 undang-undang dengan 1.244 pasal yang direvisi sekaligus. UU tersebut direvisi karena dinilai menghambat investasi. Dengan Omnibus Law, harapannya investasi semakin mudah masuk ke Indonesia. Terdapat dua Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law yang diajukan ke DPR yaitu Omnibus Law cipta lapangan kerja dan Omnibus Law perpajakan.[2]
Salah satu undang-undang yang kabarnya berencana akan diubah adalah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. UU yang disahkan oleh Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 2014 ini mengatur dan menjamin kepastian hukum tentang penjaminan produk halal. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apa kaitannya Omnibus Law dengan UU 33 Tahun 2014? Jika disahkan, Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja Pasal 522 akan menghapus sejumlah pasal di beberapa UU. Di antaranya Pasal 4, Pasal 29, Pasal 42, dan Pasal 44 UU Jaminan Produk Halal. Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal mewajibkan semua produk yang beredar di Indonesia wajib bersertifikat halal. Selengkapnya Pasal 4 berbunyi:
“Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.”
Dengan dihapusnya Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal, maka pasal yang menjadi turunan dari Pasal 4 juga akan dihapuskan, yaitu:
• Pasal 29
(1) Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha secara tertulis kepada BPJPH.
(2) Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi dengan dokumen:
a. data Pelaku Usaha;
b. nama dan jenis Produk;
c. daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan
d. proses pengolahan Produk.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan Sertifikat
Halal diatur dalam Peraturan Menteri.
• Pasal 42
(1) Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan.
(2) Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaruan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.
• Pasal 44
(1) Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
(2) Dalam hal Pelaku Usaha merupakan usaha mikro dan kecil, biaya Sertifikasi Halal dapat difasilitasi oleh pihak lain.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya sertifikasi halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.[3]
A. Omnibus Law Direncanakan Dapat Menyederhanakan dan Mempercepat Proses
Sertifikasi Halal
Wakil Presiden Ma'ruf Amin menegaskan Rancangan undang-undang Omnibus Law tidak akan menghapus kewajiban sertifikasi halal. Sebaliknya, Ma'ruf menyebut RUU Omnibus Law justru memperkuat kewajiban sertifikasi halal. Itu disampaikan Ma'ruf, menyusul isu yang mengatakan draft RUU Omnibus Law menghapus kewajiban sertifikasi halal.
"Saya kira kan sudah dijelaskan oleh Menteri Agama oleh Menko perekonomian bahwa tidak ada dalam draft Omnibus Law itu penghapusan, itu tidak ada penghapusan, juatru akan terus diperkuat" ujar Ma'ruf di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu (22/1).
Ma'ruf mengatakan, Pemerintah melalui RUU Omnibus Law justru ingin mempermudah proses sertifikasi halal. Sebab, kewajiban sertifikasi halal dirasa membebani pengusaha mikro dan kecil. Ma'ruf juga mengatakan, rencananya Pemerintah akan menggratiskan biaya sertifikasi halal bagi usaha mikro dan kecil.
"Yang ada itu tentu itu mempermudah, kemudian proses sertifikasi halal UMK itu tidak dipungut biaya, itu prinsip-prinsip yang ada. Jadi penghapusan sertifikasi halal itu tidak ada, justru akan terus diperkuat," katanya.[4]
Pendapat lain dikemukakan oleh Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi yang angkat bicara mengenai draf Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja yang menghapus kewajiban makanan harus bersertifikat halal. Fachrul menegaskan kewajiban sertifikat itu tak dihapus, melainkan diubah supaya prosesnya lebih cepat.
"Oh nggak, nggak. Bukan istilah dihapus, bagaimana membuat mempercepat, membuat efisien. Karena yang lalu kan... Bapak Presiden begini, nggak mau lagi hal- hal yang menjadi berlambat-lambat. Semuanya dalam proses. Nggak ada dalam proses. Harus ada kepastian. Bagus sekali niat beliau itu. Jadi setelah dirumuskan baik, didiskusikan," kata Fachrul di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (22/1/2020).
Fachrul mengatakan sertifikat halal tetap ada. Pemerintah, kata Fachrul, hanya ingin menyederhanakan proses supaya ada kepastian untuk masyarakat dan sampai saat ini pihaknya masih merumuskan aturan tersebut. Setelah rampung baru akan diserahkannya kepada Presiden Jokowi.[5]
Disisi lain Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Mastuki dalam siaran pers yang dilansir di website Kemenag, Selasa (21/1/2020) mengatakan:
"RUU Omnibus Law ini semangatnya pada percepatan waktu proses sertifikasi halal, baik di BPJPH, MUI, maupun Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Jadi harus ada kepastian waktu," Mastuki juga menambahkan pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja itu sendiri, yang melibatkan pihak Kemenko Perekonomian, Kemenkeu, dan kementerian/lembaga terkait, sudah berlangsung hingga pertengahan Januari 2020. Dia mengatakan, dalam konteks jaminan produk halal pada Omnibus Law, terdapat empat hal yang ditekankan. Pertama adalah soal penyederhanaan proses sertifikasi halal. Kedua, pembebasan biaya bagi usaha mikro dan kecil (UMK) saat akan mengurus sertifikasi halal. Ketiga, mengoptimalkan peran dan fungsi LPH, auditor halal, dan penyedia halal untuk mendukung pelaksanaan sertifikasi halal. Keempat, sanksi administratif dan sanksi pidana. Mastuki mengaku ada banyak pasal dalam UU 33 Tahun 2014 yang dibahas dan akan mengalami penyesuaian. Beberapa pasal dimaksud antara lain pasal 1, 7, 10, 13, 14, 22, 27-33, 42, 44, 48, 55, 56, dan 58. Pasal 4 malah tidak menjadi pembahasan.[6]
B. Penolakan dari Berbagai Kalangan terhadap RUU Omnibus Law yang Menghapus
UU 33 Tahun 2014 Tentang Kewajiban Sertifikasi Halal
Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) melalui Ketua PBNU Robikin Emhas menjelaskan, pihaknya melakukan kajian terhadap UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dalam Rapat Pleno PBNU 20-22 September 2019 di Purwakarta. Berdasarkan hasil kajian, ada sejumlah aspek yang dinilai bermasalah, antara lain:
1. Secara filosofis, UU ini bertentangan kaedah dasar hukum yakni al ashlu fil asyiya al ibahah illa an yadulla dalil 'ala tahrimiha (pada dasarnya semua dibolehkan/halal kecuali terdapat dalil yang mengharamkan). Oleh karenanya, UU ini perlu ditinjau ulang secara menyeluruh, karena bertentangan dengan kaedah hukum.
2. Secara sosiologis, masyarakat Indonesia mayoritas muslim, berbeda dengan negara-negara lain di mana masyarakat muslim merupakan penduduk minoritas, sehingga yang perlu dilindungi oleh negara melalui regulasi adalah kelompok minoritas dari segi konsumsi makanan haram. Oleh karena itu, produk dari regulasi adalah jaminan halal (sertifikat halal).
3. Secara yuridis, berdasarkan teori distribusi kewenangan undang-undang ini bermasalah. Pada prinsipnya negara dapat mendistribusikan kewenangannya sepanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, namun konstitusi memberikan batasan yaitu untuk hal-hal yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Atas kajian tersebut, Robikin menjelaskan, pihaknya mendorong peninjauan ulang UU Jaminan Produk Halal. Dia pun bersyukur hal itu masuk draf Omnibus Law.
"Betul kami mendorong agar UU JPH ditinjau ulang menyeluruh. Alhamdulillah kini masuk Omnibus Law, JPH tetap perlu, dengan tetap berlandaskan pada asas hukum yang berlaku. Sehingga penilaian kehalalan suatu proses produksi dan hasil produksi (barang olahan) tetap mengindahkan asas hukum dan mempertimbangkan aspek sosiologis (lokal wisdom). Supaya tidak mematikan usaha kecil dan memperlemah daya saing Indonesia di mata dunia. Output JPH bukan lagi stempel 'halal', namun bisa berupa label 'tidak direkomendasikan bagi muslim' (untuk tidak mengatakan label 'tidak halal')," kata Robikin Selasa (21/1/2020).[7]
Disisi lain PP Muhammadiyah melalui Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad, kepada wartawan, Selasa (21/1/2020) mengomentari tentang penghapusan pasal pada UU Nomor 44 Tahun 2013:
“Kalau benar seperti itu patut disayangkan, Padahal UU Produk Jaminan Halal akan memberi perlindungan kepada konsumen umat Islam yang 87% penduduk Indonesia dari makanan haram yang tidak boleh dikonsumsi karena larangan agama. Dengan tidak ada lagi jaminan produk halal, maka umat akan ragu ragu mengkonsumsi sesuatu sehingga pilih-pilih dan justru akan kontraproduktif sehingga akan sedikit membeli produk yang diragukan”[8]
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mengingatkan pemerintah agar setiap kebijakan di bidang apapun tidak bertentangan dengan Pancasila. Termasuk juga draf Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja yang menghapus kewajiban makanan bersertifikat halal. Menurutnya, RUU tersebut bertentangan dengan Pancasila terutama sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Apa saja yang kita lakukan dan kebijakan apa saja yang kita buat, apakah itu dalam bidang politik dan atau ekonomi tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama,” kata Anwar di Gedung MUI Pusat Jakarta, Selasa (21/1/2020).
Rencana penghapusan kewajiban makanan harus bersertifikat halal ini, imbuhnya, menandakan ketidakhadiran negara. Hal ini menurutnya tidak baik bagi harmonisasi hubungan pemerintah dengan rakyat. Anwar menambahkan, penghapusan sertifikat halal untuk kemudahan investasi ini berpotensi memancing kegaduhan dalam kehidupan bermasyarakat bernegara. Pasalnya pemerintah mengabaikan dan tidak menghormati kepentingan umat Islam.[9]
C. Rilis Sikap
Keberadaan Omnibus Law memang menjadi sebuah pisau bermata dua. Disatu sisi pemerintah menekankan bahwa keberadaan Omnibus Law adalah diharapkan dapat mempercepat investasi karena menyelesaikan undang-undang yang tumpang tindih selama ini. Disisi lain ada banyak undang-undang yang sudah disahkan termasuk UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal yang akan mengalami perubahan di beberapa pasal apabila Omnibus Law disahkan.
Melihat dan mempertimbangkan beberapa penjelasan yang telah dijabarkan di atas, maka Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam dengan ini menyatakan sikap:
1. Menolak segala upaya yang dilakukan oleh siapapun yang berusaha untuk melemahkan kinerja Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang termaktub di dalam UU Nomor 33 Tahun 2014
2. Mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk memperjelas keterkaitan antara Omnibus Law dengan undang-undang sebelumnya khususnya pada UU Nomor 33 Tahun 2014.
3. Mengajak semua elemen masyarakat untuk bersatu dan terus melakukan pengawasan terhadap RUU Omnibus Law serta melakukan penolakan kepada setiap upaya yang mencoba menghapus kewajiban sertifikasi halal di Indonesia.
Jakarta, 23 Januari 2020
Presidium Nasional FoSSEI
0 Komentar