author : angrahita
“Allahu akbar”
Lantunan merdu ayat suci
Al-Quran oleh Pak Kyai subuh ini, ikut meramaikan esok yang dinginnya menusuk
sampai ke tulang jamaah masjid Al Ikhlas. Sudah menjadi sebuah kebiasaan, para
lelaki di desa Bulurejo meramaikan masjid dengan sholat berjamaah di waktu Subuh
dan Isya. Hening dan khusyu, para jamaah merapalkan doanya masing-masing kepada
sang Pencipta seusai sholat berjamaah. Ada yang sampai berkerut dahinya, ada
yang berdzikir hingga terkantuk-kantuk, ada yang sampai meneteskan air mata, dan
tidak lain tidak bukan itu adalah Abah. Sambil menengadahkan kedua tangannya,
Abah berdoa dalam hati tentang kegelisahnnya yang sampai hari ini belum mendapat
pekerjaan setelah terkena PHK. Hingga hal tersebut menjadi momok tak
berkesudahan menghantui hari-hari yang Abah jalani.
Satu bulan lalu, Abah
masih bekerja di sebuah pabrik tekstil yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Pendapatan
bulanan Abah dari pabrik, sudah dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga
kecilnya, karena memang istrinya sudah lama tidak bekerja semenjak kelahiran
Rara. Suatu hari, tiba-tiba pabrik tempat Abah bekerja mengalami kebangkrutan.
Sehingga, terjadilah PHK besar-besaran yang dilakukan oleh pihak pabrik kepada
para karyawannya. Malangnya nasib Abah, ia ikut terkena imbas menjadi korban
PHK dari pabrik.
“Selamat siang Pak”, sapa seorang
HRD pabrik kepada Abah.
“Siang Pak”, jawab Abah.
“Langsung kepada intinya
saja, maaf, bapak adalah salah satu
orang yang ikut ter-PHK dari pabrik kami. Ini untuk pesangon terakhir bapak”, sambil
menjulurkan amplop berwarna cokelat yang berisikan beberapa lembar uang ratusan
ribu.
Abah begitu kaget, raut
mukanya sungguh mengisyaratkan kekecewaan. Tetapi, Abah tak berdaya apa-apa
untuk memprotes keputusan dari pabrik. Menjelang sore, Abah telah sampai di
rumahnya. Sedikit terhuyung-huyung di setiap langkahnya, Abah mencoba
mengumpulkan banyak keberanian untuk menyampaikan kabar tak enak ini kepada
anak juga istrinya.
“Assalamu’alaikum”, salam
Abah dari depan pintu rumah.
“Wa’alaikumusalam”, Rara
yang tengah gembira setelah menerima hasil pengumuman bahwa dirinya diterima di
perguruan tinggi negeri, berlari kencang dengan membawa beberapa dokumen yang
berisi tangguhan biaya kuliah.
“Abah!”, ucapnya begitu
bersemangat. “Rara lolos Bah, diterima di Solo!”, sambil memeluk Abah dan
berlonjak-lonjak kegirangan. “Oh iya, ini dokumen soal biaya kuliahnya Bah”,
Rara menyerahkan dokumen itu kepada Abah.
“Alhamdulillah nduk, Umi mu mana? Ayo di panggil dulu,
terus diajak kesini ya nduk”, jawab Abah
dengan senyumnya yang menenangkan sambil mendudukkan diri di kursi sebelahnya.
Ketika semua sudah
berkumpul, Abah yang terduduk lesu pun mulai menegakkan pundak dan arah
pandangannya. Desahan napas Abah lolos begitu saja. Akhirnya, Abah mulai
berterus terang tentang kejadian siang hari tadi di pabrik. Umi dan Rara
terlihat sangat shock mendengar kabar
itu. Selaku istri, Umi berusaha membuat ketenangan diantara rasa tegang yang sedang
melanda ketiganya.
“Lho kok bisa Bah?! Nanti bagaimana dengan kuliah Rara Bah?! Beberapa
bulan lagi kan sudah mau masuk, kalau ndak
bisa bayar berarti Rara nanti tidak jadi kuliah Abah!!” Rara berteriak histeris,
ketika menimpali cerita dari sang Abah. Aliran air mengalir cukup deras, dari
kedua pelupuk matanya yang sudah tidak tahan lagi untuk membendung rasa
kesedihan juga kekecewaan. Umi dan Abah memaklumi kelakuan Rara, sebab mereka
tahu bahwa Rara masih terkaget dengan fakta yang tersaji di depannya.
“Sudah nduk, sudah.. Lebih baik kamu masuk ke
kamarmu dulu, tenangkan dirimu. Biar Umi sama Abah pikirkan bagaimana solusinya”,
perintah Umi sambil memeluk Rara dari samping.
Seperti itulah kiranya ketegangan yang tercipta pada satu
bulan lalu, kini semua sudah mereda. Rara pun sudah bisa nerimo dengan keadaan yang memang seperti ini adanya. Abah sendiri
terus giat mencari info lowongan pekerjaan kesana-kemari. Namun, hasilnya masih
nihil.
Ternyata tidak hanya lantunan merdu ayat suci Al-Qur’an
Pak Kyai yang ikut meramaikan esok di desa. Pagi-pagi buta setelah subuh, kesibukan
baru Umi dan Rara yaitu membuat kue untuk dijajakan keliling desa juga ikut
mewarnai fajar tiba. Setelah kejadian itu, tepatnya saat Abah ter-PHK. Umi
meminta izin kepada Abah untuk berjualan kue keliling desa, setidaknya untuk
memenuhi kebutuhan harian keluarga kecil mereka juga menyisihkan sedikit demi
sedikit uang untuk biaya masuk kuliah Rara beberapa bulan lagi.
“Nduk, tolong Umi dibantu kukus kuenya nggih biar cepat matang terus bisa langsung keliling.”
“Inggih mi, nanti Rara bantu keliling ya mi ? Rara kan sudah libur
tinggal menunggu pengumuman masuk kuliah.”
“Iya nduk, boleh.”
Sebuah rumah sederhana, rumah paling pojok persis dekat
lahan kosong di areal persawahan ialah tempat tinggal sepasang suami-istri dan
anak tercinta mereka, yaitu Rara yang kini akan menganjak bangku perkuliahan.
Rara diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Solo, ia mengambil
jurusan Agroteknologi fakultas Pertanian. Saat ini, biaya kuliah semakin hari
semakin naik. Hal itulah yang saban hari membuat Abah menjadi resah tidak
karuan, tidur pun guling kanan-guling kiri alias tidak nyenyak. Memikirkan
dirinya yang masih saja menganggur setelah ter-PHK, padahal anaknya sebentar
lagi masuk kuliah. Terkadang Umi sering geleng-geleng kepala dengan kelakuan
Abah, bahkan sampai berbusa Umi meyakinkan Abah jika rezeki sudah diatur oleh Gusti Allah.
Di lain tempat, Pak Muis,
orang tersohor di desa Bulurejo
ini nampak kebingungan dihadapan Pak Kyai saat menjelaskan permasalahannya.
“Pak Yayi?”, tanya Pak
Muis sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya.
“Ada apa tho ngger? Kamu kok seperti orang bingung,
kalau galau ya jangan nemen-nemen tho ngger”,
canda Pak Kyai sambil terkekeh pelan karena gemas melihat tingkah tetangga
sebelah rumahnya ini.
“Pak Yayi ini tho bisa saja hahaha.. Jadi begini lho Pak Yayi. Saya kan ada lahan
dimana-mana tetapi ndak bisa
menggarap lahannya, karena pekerjaan saya juga ndak bisa ditinggal Pak Yayi. Apalagi lahan yang di pojok itu lho Pak, tanahnya sampai kering mrontang ndak terurus. Saya jadi bingung
mau diapakan itu lahannya, eman-eman
Pak Yayi.” Ucap pak Muis dengan wajah yang tertunduk lesu.
“Woalahh gitu tho ngger masalahnya. Kenapa ndak dicoba cari penggarap lahan? Jadi
nanti kamu malah bisa dapat bonus banyak, yaitu lahanmu subur juga bermanfaat
buat orang lain termasuk ke dirimu itu juga ngger.”
“Pripun Pak Yayi, saya masih bingung?” jawab Pak Muis
“Begini lho ngger,
jadi dalam ekonomi islam itu ada istilah namanya muzara’ah, mukhabarah,
sama musaqah. Semua sama saja, kalau
istilah gampangnya ya paron sawah itu
lho ngger. Bedanya, muzara’ah
itu modal benihnya dari si penggarap, kalau mukhabarah
benihnya dari si pemilik lahan, sedangkan musaqah
itu lebih ke paron kebun ngger. Nanti buat hasilnya, ada yang
namanya bagi hasil. Jadi dirimu ndak perlu
khawatir, enak kan? Nah gimana? Itu bisa dicoba salah satunya ngger”
“Bagi hasil itu pripun Pak
Yayi?”
“Hmmm.. bagi hasil itu
seperti ini, kalau misal sudah panen, hasilnya nanti di bagi sesuai kesepakatan
antara kedua belah pihak ngger.
Contohnya ya, jika kedua belah pihak itu sepakat paron, bagi hasilnya ya separuh-separuh atau masing-masing mendapat
50%. Beda halnya, jika yang disepakati itu mrotelu
atau sepertiga, ya perbandingan bagi hasilnya 2 : 1. Jadi ngger kalau hasil panen itu semua ada 15
karung, berarti ya 10 karung buat si
pemilik lahan dan 5 karungnya untuk si penggarap”
Pak Muis yang awalnya
terlihat seperti orang kebingungan, kini langsung saja terduduk dengan tegap
dan mantap. Ia cukup terheran-heran, ternyata dalam ekonomi islam juga mengatur
sampai hal-hal kecil seperti itu. Apalagi Pak Kyai yang sudah tujuh langkah
lebih maju keilmuannya tentang agama, juga mempelajari tentang ekonomi islam.
Pak Muis pun berdecak sambil menggoyangkan kepalanya ke kanan dan kiri karena
keheranan.
Laiknya mendapat pencerahan di siang bolong, nampak dari
anggukan kepalanya yang penuh keyakinan. Pak Muis memutuskan untuk memilih mukhabarah. Kemudian, Pak Kyai pun tak
luput menjelaskan apa saja yang menjadi rukun dan syaratnya. Rukunnya yaitu ada
pemilik lahan, ada penggarap, ada objek, dan shighat. Sedangkan syaratnya yaitu ‘aqidain harus berakal, ada penentuan macam tanamannya, bagi hasil
harus disebutkan jumlah atau presentasenya, lokasi dan batas tanahnya jelas,
dan alat-alat untuk menggarap lahan.
Usai sudah acara galau
dari Pak Muis hari ini. Sambil berjalan pulang, ia berganti memikirkan siapa
orang yang tepat untuk menggarap lahannya. Hingga berkerut dahinya, bukti bahwa
ia berpikir dengan keras. Pak Muis tiba-tiba teringat dengan rumah yang persis
di samping lahannya itu. Menurut desas-desus yang beredar dari
tetangga-tetangganya, si pemilik rumah sudah satu bulan kena PHK dan tengah kebingungan
mencari pekerjaan untuk tambah biaya anaknya yang akan masuk kuliah. Tanpa
keraguan, Pak Muis yang sudah sampai di depan pintu rumahnya tadi, langsung
bergegas berbalik arah 1800 menuju ke rumah dekat lahannya itu.
Hingga akhirnya, terjadilah kesepakatan atau akad di antara Abah dan Pak Muis mengenai
urusan lahan yang tak terurus itu. Dimana modal benih, pupuk, dan lainnya akan
diberikan oleh Pak Muis, sehingga Abah tinggal mengurus, merawat, dan menggarap
lahannya, juga kesepakatan bagi hasil 50% diantara keduanya.
Alhamdulillah, sungguh rezeki memang benar sudah diatur oleh Gusti Allah, tutur Abah dalam hati. Abah
senang bukan kepalang, jua Umi dan Rara yang awalnya sempat merasa kaget dengan
kedatangan Pak Muis secara tiba-tiba. Sekarang Abah tidak lagi gelisah juga
resah, tidur pun sudah nyenyak tidak guling kanan-guling kiri seperti satu
bulan terakhir ini. Karena, dirinya telah mendapat rezeki yakni pekerjaan yang
dapat menambah biaya anaknya Rara untuk masuk
kuliah. Beberapa bulan kemudian, Abah dapat mengubah lahan yang kering mrontang nan tandus itu menjadi ladang
yang penuh keberkahan. Dengan telaten, padi yang Abah tanam selalu tumbuh subur
juga hasil panennya terus melimpah.
Bertahun-tahun, ladang keberkahan itu sudah banyak
memberikan kebermanfaatan untuk keluarga Abah juga Pak Muis. Seperti halnya
membantu kebutuhan hidup sehari-hari keluarga Abah, membantu biaya kuliah Rara
hingga lulus seperti saat ini, memberikan penghasilan tambahan untuk Pak Muis,
dan tentunya keberkahan dalam menjalani hidup dengan saling tolong-menolong
serta menjadi bermanfaat bagi sesama melalui hal-hal kecil di sekitar kita.
0 Komentar